Terakhir sekitar 25 tahun lalu aku sarapan bubur ayam hasil olahan Pak
Syaiman, yang mangkal nyempil di Warung Kopi yang letaknya di Jalan. Teuku Cik
Ditiro, Pontianak Barat, Kalimantan Barat. Atau tepatnya di depan Toko Janli.
Pagi ini, 18 Oktober 2014, pukul 07.20 WIB aku coba mampir lagi. Tak
kulihat lagi sosok Pak Syaiman yang ramah, murah senyum sembari kedua tangannya
cekatan menyajikan bubur ayam pesanan pelanggannya.
Terlanjur ingin mengulangi nikmatnya khas rasa bubur Pak Syaiman yang
sulit diungkapkan dengan kata-kata, kupesanlah dengan seorang Ibu yang jualan
bubur ayam persis diposisi gerobak milik Pak Syaiman. Semula aku pikir aku cuma
kangen dengan rasa bubur ayamnya, tetapi setelah kuperhatikan sajian buburnya
dalam mangkuk dan kunikmati satu per satu sendok yang kumakan, aku pastikan ini
bukan bubur buatan Pak Syaiman.
Tapi siapa ibu paruh baya ini ?
Ciri khas bubur Pak Syaiman adalah daging ayamnya dipotong-potong balok
kecil-kecil. Potongan daging ayam itu dimasak seperti memasak sop kaldu dengan
campuran rempah rimpang kunyit, sehingga jelas tampak warna kuning mewarnai
kuah di atas bubur nasi. Ada gorengan kacang tanah dan ikan teri yang renyah
dan garing. Ada juga keripik melinjo.
Cita rasanya jelas, tidak asal-asalan. Dan pada saat itu sekitar tahun
1989, cita rasa bubur ayam Pak Syaiman, tak ada duanya di Kota Pontianak. Satu
kata: Terenak.
Sambil menikmati bubur ayam
yang rasanya “aku kecewa,” terbayang sosok Pak Syaiman yang berkulit
hitam, tubuh kurus dan rambut lurus serta kumis melintang, cekatan dan serius
menyajikan yang terbaik dari hasil karyanya.
Sajian dan rasa bubur ayam ibu paruh baya ini tak jauh berbeda rasa
dengan bubur ayam untuk anak-anak sarapan yang biasa mangkal di dekat sekolah
dasar. Ayam disuir-suir, kacang goreng yang sudah lemau, kerupuk tepung biasa.
Ikan teri seadanya.
Dalam hatiku bertanya: Kemana Pak Syaiman ? Berkecamuk dalam pikiranku:
“Masih hidupkah, sudah matikah, sehatkah,
sakitkah atau apa ?
Tak mau berlama-lama, aku langsung menghampiri ibu paruh baya itu untuk
membayar sambil bertanya : Biasanya yang jualan Pak Syaiman. Ibu, siapanya Pak
Syaiman? Ibu paruh baya itu menjawab: Pak Syaiman itu suami saya. Ada di rumah,
sedang sakit, sakit mata. Sudah lama tidak bisa berjualan lagi. Sekarang saya
yang menggantikan beliau.
Sekitar 25 tahun lalu, bubur Pak Syaiman yang kuacungi jempol cita
rasanya, dihargai Rp 2.500 per mangkuk. Kini di tahun 2014, dengan cita rasa
yang aku kecewa, dihargai Rp 8.000 per mangkuk.
Kenapa cita ranya bisa beda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar